Hukum Merayakan Tahun Baru Masehi bagi Umat Islam
Seperti diketahui, tahun baru masehi berbeda dengan penanggalan Hijriah yang menjadi acuan ibadah umat Islam.
Hukum Merayakan Tahun Baru Menurut Islam
Hukum merayakan tahun baru Masehi menurut ajaran Islam mencakup pandangan yang beragam, dengan beberapa ulama memperbolehkannya dan yang lain melarangnya. Pendapat ulama bervariasi terkait hukum perayaan tersebut, walaupun masing-masing memiliki dalil pendukung yang menjelaskan baik perbolehan maupun larangan dalam merayakan tahun baru Masehi.
Secara umum, masyarakat global menghitung hari menuju pergantian tahun 2024. Sehubungan dengan itu, beberapa individu sering menyambut perayaan tahun baru dengan dua pendekatan umum: kegiatan positif dan perayaan negatif yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Oleh karena itu, wajar jika perayaan tahun baru yang mengandung elemen positif dan negatif dipertanyakan.
Hukum merayakan Tahun Baru Masehi, seperti yang disebutkan sebelumnya, dibagi menjadi dua pendapat dalam Islam, yakni diperbolehkan dan dilarang.
Larangan Merayakan Tahun Baru Masehi
Dikutip dari laman resmi NU, Kelompok ulama yang melarang menganggap perayaan tahun baru awalnya berasal dari ritual bangsa Roma, bahkan dianggap sebagai upacara penebusan dosa. Mereka memandang bahwa melibatkan diri dalam perayaan ini menyerupai suatu kaum, sebagaimana disampaikan dalam hadis Rasulullah SAW "Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka" (HR. Abu Dawud, hasan).
Larangan merayakan tahun baru Masehi juga diperkuat dengan beberapa hadis lain, seperti hadits dari Anas bin Malik dan Abdullah bin Amr bin al-Ash. Di sisi lain, ada kelompok ulama yang memperbolehkan perayaan tahun baru, dengan pandangan bahwa perayaan ini lebih bersifat adat istiadat dan tidak terkait dengan aspek agama. Namun, mereka tetap menegaskan bahwa perayaan ini hanya diperbolehkan jika tidak diiringi oleh kemaksiatan, seperti kerusuhan, balap liar, tawuran, dan sejenisnya.
Merayakan Tahun Baru Masehi Diperbolehkan
Beberapa ulama, seperti Guru Besar Al-Azhar, Syekh Athiyyah Shaqr, dan ulama pakar hadis terkemuka, Syekh Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki, memperbolehkan perayaan tahun baru dengan syarat bahwa kegiatan tersebut tidak melibatkan kemaksiatan, merusak kehormatan, atau bertentangan dengan ajaran agama. Mereka menegaskan bahwa peringatan-peringatan seperti ini merupakan bagian dari tradisi dan tidak memiliki korelasi langsung dengan agama.
Masih mengutip NU Online, Guru Besar Al-Azhar, Asy-Syarif dan Mufti Agung Mesir, Syekh Athiyyah Shaqr dalam suatu kompilasi fatwa ulama Al-Azhar menyatakan sebagai berikut: "Kaisar Rusia, Alexander III pernah mengutus seorang tukang emas 'Karl Fabraj' guna membuat topi baja untuk istrinya pada tahun 1884 M.
Sebagai informasi, proses pembuatannya berlangsung selama 6 bulan. Topi itu ditempeli batu akik dan permata. Warna putihnya dari perak dan warna kuningnya dari emas.
Di setiap tahunnya ia menghadiahkan topi serupa kepada istrinya hingga kemudian istrinya ditumbangkan oleh pemberontakan kelompok komunisme pada tahun 1917 M.
Awalnya, acara ini merupakan suatu perayaan 'Sham Ennesim' (Festival nasional Mesir yang menandai dimulainya musim semi) yang merupakan tradisi lokal Mesir lantas berubah menjadi tradisi keagamaan.
Lalu bagaimanakah hukum memperingati dan merayakannya bagi seorang muslim? Tak diragukan lagi bahwa bersenang-senang dengan keindahan hidup yakni makan, minum dan membersihkan diri merupakan sesuatu yang diperbolehkan selama masih selaras dengan syariat, tidak mengandung unsur kemaksiatan, tidak merusak kehormatan, dan bukan berangkat dari akidah yang rusak." [Wizarah Al-Auqof Al-Mishriyyah, Fatawa Al-Azhar, juz X, halaman 311).
Selain itu, Syekh Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki, seorang ulama pakar hadis terkemuka asal Haramain juga menegaskan fatwa memperbolehkan perayaan tahun baru dalam kitab Mafahim Yajibu an Tushahihah sebagai berikut:
"Sudah menjadi tradisi bagi kita berkumpul untuk menghidupkan berbagai momentum bersejarah, seperti halnya maulid nabi, peringatan isra mi'raj, malam nisfu sya'ban, tahun baru hijriyah, nuzulul qur'an dan peringatan perang Badar. Menurut pandanganku, peringatan-peringatan seperti ini merupakan bagian daripada tradisi, yang tidak terdapat korelasinya dengan agama, sehingga tidak bisa dikategorikan sebagai sesuatu yang disyariatkan ataupun disunahkan.
Dengan demikian, hal ini juga tidak berseberangan dengan dasar-dasar agama, sebab yang justru mengkhawatirkan ialah timbulnya keyakinan terhadap disyariatkannya sesuatu yang tidak disyariatkan." (Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki, Mafahim Yajibu an Tushahihah, [Surabaya: As-Shafwah Al-Malikiyyah], halaman 337-338).
Berdasarkan penjelasan di atas, terdapat perbedaan pendapat ulama mengenai hukum merayakan tahun baru Masehi dalam Islam dan penentuan perbolehan atau larangan didasarkan pada interpretasi masing-masing ulama terhadap dalil-dalil agama.
No comments:
Post a Comment
Silahkan ketik sambil senyum ya