Monday, January 1, 2024

Janda bisa berkelas ya

Bagaimana Seorang Janda di Mata Allah? Ini Keutamaan Menikahi Janda dalam Islam !


Banyak yang beranggapan bahwa status janda ataupun duda memiliki makna negatif. Terlebih lagi jika status itu akibat faktor perceraian. Namun, saat ini tidak sedikit pria yang lebih memilih menikahi janda dibanding wanita lanjang. Seorang janda di mata Allah itu bagi yang mau menikahi maka Ia seperti jihad di jalan Allah.

Keutamaan Menikahi Seorang Janda di Mata Allah

Ada beberapa keberkahan yang bisa diambil jika memiliki niat yang tulus dengan menikahi janda. Sebagaimana beberapa keutamaan yang akan kami ulas di bawah ini agar lebih mengetahui bagaimana seorang janda di mata Allah.

1. Meneladani Nabi Muhammad SAW dengan menikahi janda

Rasulullah menikah seorang janda yang bernama Sayyidah Khodijah binti Khuwailid. Dengan menikahi janda, Rasulullah ingin menunjukkan bahwa manusia tidak boleh dibedakan berdasarkan pada status sosialnya seperti janda-perawan, miski-kaya, bengsawan-jelata. Selain itu, Allah juga ingin memuliakan perempuan.

2. Akan membawa keberkahan

Menikahi seorang janda di mata Allah juga bisa dikategorikan dalam tindakan yang membawa berkah dan anugerah. Apalagi jika niatnya ingin melindungi janda dari segala fitnah dan hal buruk yang mungkin terjadi.

Menurut hadist HR. Bukhari no.5353 dan Muslim no. 2982 bahwa Rasulullah SAW bersada:

“Orang yang berusaha menghidupi para janda dan orang-orang miskin laksana orang yang berjuang di jalan Allah. Dia juga laksana orang yang berpuasa di siang hari dan menegakkan shalat di malam hari.” (HR. Bukhari no. 5353 dan Muslim no. 2982)

3. Menikahi janda akan mendapat pahala

Tindakan baik yang bisa mendapatkan pahala yaitu dengan menikahi janda. Yang penting niatnya baik ingin menafkahi karena Allah. Maka, Allah akan memberikan pahala atas niat baiknya tersebut.

4. Lebih berpengalaman

Selanjutnya, jika seorang wanita sudah dipanggil janda, berarti dirinya sudah pernah menikah dan sudah memiliki cukup pengalaman dalam hal berumah tangga. Banyak hal yang sudah pernah ia lewati seperti manis, pahit, asam dalam berumah tangga.

Dengan banyaknya proses yang sudah ia lewati hingga pada akhirnya menjadi janda maka akan banyak memeproleh pelajaran dari pernikahan sebelumnya, sehingga kedepannya akan lebih berhat-hati saat menghadapi masalah dalam berumah tangga.

5. Menambah semangat

Apabila dalam pernikahan sebelumnya yang dijalani gagal, maka saat menghadapi pernikahan selanjutnya akan muncul semangat baru. Sehingga, seorang janda di mata Allah baik ketika ia mau memperbaiki diri pada pernikahannya yang baru.

6. Mengajarkan agar bisa lebih bertanggung jawab

Sebagai umat muslim, pasti kita akan selalu berusaha melakukan hal-hal baik yang bisa membantu sesama dengan kebaikan bersama. Dengan menikahi janda akan menjadi sosok yang lebih bertanggung jawab karena akan memberikan suasana rumah tangga yang lebih baik.

7. Menjadi sumber rejeki

Derajat seseorang juga bisa diangkat saat bersedia menikahi janda. Karena, itu merupakan perilaku yang terpuji. Bahkan menikahi perempuan janda juga bisa menjadi sumber ladang rejeki. Sebagaimana dalam hadist HR. Hakim sebagai berikut:

“Nikahilah wanita, karena akan mendatangkan harta bagi kalian”. (HR. Hakim 2679 dan dinilai ad-Dzahabi sesuai syarat Bukhari dan Muslim).”

Demikianlah ulasan mengenai keutamaan menikahi seorang janda di mata Allah. Seseorang akan jauh lebih sabar karena pada umumnya janda itu dianggap negative dan orang yang menikahi bisa saja mendapat gunjingan dari orang lain.

Like untuk yang berintegritas dalam bekerja

Integritas Sebagai Budaya Profesionalitas Dalam Bekerja



Apa itu integritas? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian integritas adalah mutu, sifat, dan keadaan yang menggambarkan kesatuan yang utuh, sehingga memiliki potensi dan kemampuan memancarkan kewibawaan dan kejujuran. Integritas dalam dunia pekerjaan adalah sikap dimana seseorang mampu bertanggung jawab terhadap pekerjaan yang telah diamanahkan terhadapnya, mengerjakannya dengan penuh profesionalitas dan menjauhkannya dari kepentingan pribadi. Seseorang yang mempunyai integritas maka akan lebih produktif dan selalu termotivasi saat bekerja.

Integritas sangat berpengaruh besar dalam perjalanan karir seseorang, karena integritas menjadi salah satu poin dalam penilaian atasan terhadap kinerja bawahannya. Seseorang yang memiliki integritas maka karir akan sukses. Lalu bagaimana cara menjadikan integritas sebagai budaya profesionalitas dalam bekerja ?

Cara menerapkan intergritas dalam bekerja :

  1. Selalu siap bekerja, ketika atasan memberikan tugas sudah semestinya seorang pegawai harus siap untuk mengejakan apa yang ditugaskan oleh pimpinan selama tugas yang diberikan tida melenceng dari tanggung jawabnya.
  2. Datang tepat waktu, seseorang yang berintegritas tinggi dapat dilihat dari caranya menghargai setiap waktu. Dalam bekerja sudah ditentukan jam berangkat dan jam pulang, maka sebagai pegawai yang berintegritas haruslah bekerja sesuai waktu yang telah ditentukan. Disiplin waktu juga harus dilakukan oleh seorang pimpinan agar menjadi contoh bawahannya.
  3. Jujur terhadap kelemahan, seseorang yang mau mengakui kelemahannya maka mereka akan lebih cepat berkembang karena mengerti betul akan kekurangan apa yang dimilikinya. Sehingga cepat berkembang untuk memperbaiki kekurangannya.
  4. Menyelesaikan konflik secara profesional, apabila dalam bekerja menemui masalah, seseorang yang berintegritas akan menyelesaikannya secara profesional.
  5. Menjaga rahasia, seorang yang berintegritas mampu menjaga rahasia yang sudah dipercayakan kepadanya. Jika dalam sebuah pekerjaan, maka seorang pegawai yang berintegritas mampu menjaga rahasia perusahaan/instansinya berupa data atau dokumen penting yang tidak bisa dipublikasikan ke masyarakat umum.

Menanamkan sikap berintegritas harus dimulai hal kecil di kehidupan sehari-hari, dimanapun berada tetap harus menjaga wibawa dan bersikap jujur.

Harus punya cita - cita agar tidak terputus dari rahmat Allah SWT


Sesuaikan Antara Cita-Cita di Masa Depan dengan Tindakan di Masa Sekarang

Artinya: “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu)” (Q.S. Asy-Syura: 30)

Setiap manusia pasti menginginkan hal yang terbaik bagi dirinya di masa yang akan datang. Dalam konteks sebagai seorang mukmin yang beriman kepada Allah Swt. tentu saja ingin yang terbaik di dunia dan akhirat. Untuk mencapai keinginan atau cita-cita tersebut manusia harus menyusun rencana yang sebaik-baiknya, berusaha maksimal, berdoa tanpa pernah henti, dan terakhir pasrah kepada ketetapan Allah Swt.

Berbicara mengenai cita-cita di masa depan, ada salah satu kaidah populer yang mengatakan bahwa “Apa yang kita tanam kelak itulah yang akan kita petik”, hal ini juga senada dengan firman Allah Swt di atas.

Kita ambil contoh dari sebuah peristiwa ketika seorang ayah bersama anaknya yang menemui Khalifah ‘Umar ibn Khathab, dalam pertemuan itu si ayah mengadu kepada sang khalifah bahwa anaknya ini sangat tidak patuh dan durhaka kepadanya. “Apa benar yang disampaikan ayahmu kepadaku? bahwa engkau mendurhakainya?,” tanya sang Khalifah kepada sang anak.

“Benar wahai Khalifah, wahai Khalifah, saya telah durhaka kepadanya, wahai Khalifah, apakah hanya anak yang memiliki kewajiban untuk tidak mendurakai orang tuanya?, apakah orang tua tidak memiliki kewajiban kepada anaknya?,” tanya sang anak kembali kepada Khalifah. Kemudian Khalifah menjawab “Tidak wahai anak muda.” Khalifah Umar menyambung jawabannya “Orang tua setidaknya memiliki tiga kewajiban kepada anak yang harus ia penuhi. Pertama, hendaknya seorang ayah mencarikan ibu yang baik untuk anaknya. Kedua, hendaknya orang tua itu menamaimu dengan nama yang baik. Ketiga, hendaknya orang tua itu mengajarkanmu Al-Qur’an dan agama Islam,” tegas Umar.

Mendengar jawaban Umar, lalu anak itu berkata “Jika itu hak anak yang harus dipenuhi oleh orang tua, ketahuilah wahai Khalifah, Sesungguhnya aku tidak mendapatkan satupun dari yang telah engkau sebutkan tadi. Yang pertama, ibuku adalah seorang budak yang dibeli ayahku di pasar. Yang kedua, mereka menamaiku dengan nama yang buruk. Yang ketiga, aku tidak pernah sekalipun diajarkannya Al-Qur’an. Bahkan ayahku pun tidak paham ilmu Al-Qur’an dan ilmu agama Islam.”

Setelah mendengar penjelasan si anak, Khalifah Umar r.a. berkata kepada ayahnya “Aku telah mendengar aduanmu dan penjelasan anakmu, sesungguhnya yang bersalah dan yang harus dihukum adalah engkau. Karena sebagai ayah, kau tidak memberikan hak anakmu.”

Dari untaian kisah di atas, sudah dapat kita pastikan bahwa kaidah “Apa yang kita tanam, kelak itulah yang akan kita petik” adalah hukum yang sudah terbukti dan apa adanya. Dalam kisah itu, kita memetik pelajaran bahwa, jika seorang orang tua mencita-citakan anaknya menjadi anak yang baik, patuh, sholeh, pintar, dan lain-lain. Orang tua wajib menanamkan poin-poin tersebut kepada sang anak sejak dini. Jika tidak, jangan harap sang anak akan menjadi seperti apa yang dicita-citakan. Jika diri sang anak berkeinginan menjadi anak yang baik dan sholeh, ajarkan kepadanya tentang agama Islam sejak dini.

Jika ingin anaknya menjadi anak yang pintar, bimbing dan selalu dukunglah ia ketika belajar, dan sebagainya. Karena kita harus menyesuaikan antara cita-cita kita di masa depan dengan tindakan kita di masa sekarang. Mengapa demikian?, karena tindakan kita saat ini akan berperan penuh dengan apa yang akan terjadi di masa depan. Kita di masa ini adalah tindakan kita di masa lalu, dan kita di masa depan adalah tindakan kita di masa sekarang. Hal ini sesuai firman Allah Swt.: “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik kepada dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian dari kejahatan) itu untuk dirimu sendiri” (Q.S. al-Isra:7)

Mulailah Menanam Kebaikan-kebaikan!

Sebagaimana sudah disinggung di atas bahwa sebagai seorang mukmin yang beriman kepada Allah Swt., tentu saja cita-cita kita adalah ingin mendapatkan yang terbaik di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, untuk mencapai cita-cita itu, hal pertama yang hendaknya kita lakukan adalah menanam kebaikan. Allah Swt. berfirman:

“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS An-Nahl:128)

Kebaikan itu sebaik namanya. Orang-orang yang pertama kali akan merasakan manfaat dari kebaikan adalah mereka yang melakukannya. Dalam kutipan ayat tersebut, Allah menjelaskan bahwa Allah akan berserta dengan orang-orang bertakwa dan orang-orang yang berbuat baik.

Adapun contoh kecil dari sifat-sifat baik yang dapat kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari misalnya dengan ramah terhadap sesama, saling tolong-menolong dalam kebaikan, membudayakan anak untuk suka membaca, anak muda hormat terhadap yang lebih tua, yang lebih tua mengayomi anak muda, dan sebagainya. Insyaallah jika ini yang kita lakukan, kelak kebaikan yang akan datang kepada kita, baik itu di dunia ataupun di akhirat. Rasulullah saw. bersabda “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya” (H.R. Ahmad).

Lakukanlah dengan Ikhlas!

Sebagai penutup, setelah kita memiliki cita-cita yang terbaik di dunia dan akhirat, dan memulainya dengan menanam kebaikan-kebaikan, maka jangan lupa saat beramal kebaikan, iringilah dengan niat ikhlas karena Allah Swt.

Memaknai kata “Ikhlas” dalam segi bahasa, ikhlas berarti bersih dari kotoran. Sedangkan secara istilah, ikhlas berarti niat mengharap rida Allah semata dalam beramal tanpa menyekutukan-Nya. Maka orang yang ikhlas dalam berbuat baik adalah orang yang niat tulus melakukan kebaikannya demi Allah semata. Tidak dicampuri sedikitpun sifat riya.

Oleh karena itu, mari kita berlindung kepada Allah dari perbuatan yang dapat mengugurkan amalan ini. Juga selalu senantiasa menebarkan kebaikan tersebut dengan rasa ikhlas. Karena, agar kita benar-benar mendapatkan manfaat yang kita berikan kepada orang lain, kita harus ikhlas, karena ikhlas adalah salah satu kunci diterimanya amalan kita.

Kemudian, menyandarkan segala sesuatu kepada Allah, bukan kepada ciptaan-Nya. Agar kita tak merasa kecewa ketika dikecewakan, tidak merasa marah jika ada yang menyakiti, dan tidak merasa iri jika orang lain mendapat lebih banyak rezeki. Adapun salah satu ciri dari orang yang ikhlas dalam beramal adalah senang dan bersungguh-sungguh dalam beramal, baik saat sendiri atau sedang bersama orang banyak, baik ada pujian atau celaan. Wallahu a’lam bisshawab.

Bekerjanya wanita didalam rumah, pasti dekat dengan Allah SWT

Bekerja Profesional dan Cerdas Menurut Islam


Islam menempatkan bekerja sebagai ibadah untuk mencari rezeki dari Allah guna menutupi kebutuhan hidupnya. Bekerja untuk mendapatkan rezeki yang halalan thayiban termasuk kedalam jihad di jalan Allah yang nilainya sejajar dengan melaksanakan rukun Islam. Dengan demikian bekerja adalah ibadah dan menjadi kebutuhan setiap umat manusia. Bekerja yang baik adalah wajib sifatnya dalam Islam. 

Rasulullah, para nabi dan para sahabat adalah para profesional yang memiliki keahlian dan pekerja keras. Mereka selalu menganjurkan dan menteladani orang lain untuk mengerjakan hal yang sama. Profesi nabi Idris adalah tukang jahit dan nabi Daud adalah tukang besi pembuat senjata. Jika kita ingin mencontoh mereka maka yakinkan diri kita juga telah mempunyai profesi dan semangat bekerja.

Melengkapi bekerja profesional adalah praktek bersikap dan berperilaku mencontoh Rasulullah yaitu bersifat siddiq, fathonah, amanah dan tabligh agar kita diberikan keselamatan dunia dan akhirat. 

  • Sifat siddiq adalah dapat dipercaya dan jujur. 
  • Sifat fathonah adalah harus pintar. 
  • Sifat amanah adalah melaksanakan tugas yang dibebankan  
  • tabligh adalah mampu melakukan komunikasi yang baik. 

Wujud dari kita bekerja selain mendapat rezeki halal adalah pengakuan dari lingkungan atas prestasi kerja kita. “Sesungguhnya Allah suka kepada hamba yang berkarya dan terampil dan siapa yang bersusah payah mencari nafkah untuk keluarga maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah Azza Wajalla (H.R. Ahmad). 

Allah juga telah menjanjikan kita mempunyai peluang memperoleh rezeki yang luas asalkan bekerja profesional dan cerdas melalui etos kerja yang tinggi. 

Impian ingin punya mobil rumah berjalan dengan supir yang halal ya

 


Jadi Campervan, Santa Rosa Sulap Interior Daihatsu Gran Max Ala Rumah Berjalan

Modifikator asal Jepang, Santa Rosa, cukup all-out dalam memodifikasi mobil berjenis van yang dikategorikan sebagai mobil komersial. Seperti ketika memodifikasi Daihatsu Gran Max, selain operasi wajah menjadi seperti van Amerika Serikat tahun 1970-an, interior juga dimodifikasi menjadi seperti rumah berjalan sehingga cocok untuk berkemah ala Campervan.

Santa Rosa berpikiran, meskipun Gran Max hitungannya compact, area kargonya potensial untuk dimodifikasi seperti rumah berjalan dengan lantai parket, dan furnitur seperti kabinet, meja, dan kursi yang dirancang bisa menjadi ranjang.

Selain itu, Santa Rosa juga memasang plafon dengan langit-langit bercorak kayu dan lampu bohlam 6 buah serta door trim bercorak kayu agar menambah kesan rileks layaknya berada di rumah.

Sebagai opsi, Santa Rosa turut memasang inverter sebesar 350 W dan external AC 100 V input dan charging dengan sub battery system agar pengguna dapat memanfaatkan perabotan elektronik. Agar lebih bisa mengikuti selera pelanggan, Santa Rosa menyediakan 8 pilihan corak upholstery dan 15 corak lantai.

Modifikasi seperti ini senilai 1.271.000 Yen atau sekitar Rp. 164,3 juta, dan Santa Rosa hanya menjualnya dengan mobil utuh melalui proses inden ke dealer. Artinya, setelah inden dan mobilnya tiba, Santa Rosa akan memodifikasi interiornya kemudian serah terima ke pelanggan. Apabila pelanggan tertarik dengan operasi wajah Gran Max menjadi seperti van Amerika tahun 1970-an, hanya perlu menambah 495.000 Yen atau sekitar Rp. 63,9 juta.


Saya memilih untuk tidak ikut merayakan Tahun Baru Masehi

 Hukum Merayakan Tahun Baru Masehi bagi Umat Islam


Seperti diketahui, tahun baru masehi berbeda dengan penanggalan Hijriah yang menjadi acuan ibadah umat Islam.

Hukum Merayakan Tahun Baru Menurut Islam

Hukum merayakan tahun baru Masehi menurut ajaran Islam mencakup pandangan yang beragam, dengan beberapa ulama memperbolehkannya dan yang lain melarangnya. Pendapat ulama bervariasi terkait hukum perayaan tersebut, walaupun masing-masing memiliki dalil pendukung yang menjelaskan baik perbolehan maupun larangan dalam merayakan tahun baru Masehi.

Secara umum, masyarakat global menghitung hari menuju pergantian tahun 2024. Sehubungan dengan itu, beberapa individu sering menyambut perayaan tahun baru dengan dua pendekatan umum: kegiatan positif dan perayaan negatif yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Oleh karena itu, wajar jika perayaan tahun baru yang mengandung elemen positif dan negatif dipertanyakan.

Hukum merayakan Tahun Baru Masehi, seperti yang disebutkan sebelumnya, dibagi menjadi dua pendapat dalam Islam, yakni diperbolehkan dan dilarang.

Larangan Merayakan Tahun Baru Masehi

Dikutip dari laman resmi NU, Kelompok ulama yang melarang menganggap perayaan tahun baru awalnya berasal dari ritual bangsa Roma, bahkan dianggap sebagai upacara penebusan dosa. Mereka memandang bahwa melibatkan diri dalam perayaan ini menyerupai suatu kaum, sebagaimana disampaikan dalam hadis Rasulullah SAW "Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka" (HR. Abu Dawud, hasan).

Larangan merayakan tahun baru Masehi juga diperkuat dengan beberapa hadis lain, seperti hadits dari Anas bin Malik dan Abdullah bin Amr bin al-Ash. Di sisi lain, ada kelompok ulama yang memperbolehkan perayaan tahun baru, dengan pandangan bahwa perayaan ini lebih bersifat adat istiadat dan tidak terkait dengan aspek agama. Namun, mereka tetap menegaskan bahwa perayaan ini hanya diperbolehkan jika tidak diiringi oleh kemaksiatan, seperti kerusuhan, balap liar, tawuran, dan sejenisnya.

Merayakan Tahun Baru Masehi Diperbolehkan

Beberapa ulama, seperti Guru Besar Al-Azhar, Syekh Athiyyah Shaqr, dan ulama pakar hadis terkemuka, Syekh Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki, memperbolehkan perayaan tahun baru dengan syarat bahwa kegiatan tersebut tidak melibatkan kemaksiatan, merusak kehormatan, atau bertentangan dengan ajaran agama. Mereka menegaskan bahwa peringatan-peringatan seperti ini merupakan bagian dari tradisi dan tidak memiliki korelasi langsung dengan agama.

Masih mengutip NU Online, Guru Besar Al-Azhar, Asy-Syarif dan Mufti Agung Mesir, Syekh Athiyyah Shaqr dalam suatu kompilasi fatwa ulama Al-Azhar menyatakan sebagai berikut: "Kaisar Rusia, Alexander III pernah mengutus seorang tukang emas 'Karl Fabraj' guna membuat topi baja untuk istrinya pada tahun 1884 M.

Sebagai informasi, proses pembuatannya berlangsung selama 6 bulan. Topi itu ditempeli batu akik dan permata. Warna putihnya dari perak dan warna kuningnya dari emas.

Di setiap tahunnya ia menghadiahkan topi serupa kepada istrinya hingga kemudian istrinya ditumbangkan oleh pemberontakan kelompok komunisme pada tahun 1917 M.

Awalnya, acara ini merupakan suatu perayaan 'Sham Ennesim' (Festival nasional Mesir yang menandai dimulainya musim semi) yang merupakan tradisi lokal Mesir lantas berubah menjadi tradisi keagamaan.

Lalu bagaimanakah hukum memperingati dan merayakannya bagi seorang muslim? Tak diragukan lagi bahwa bersenang-senang dengan keindahan hidup yakni makan, minum dan membersihkan diri merupakan sesuatu yang diperbolehkan selama masih selaras dengan syariat, tidak mengandung unsur kemaksiatan, tidak merusak kehormatan, dan bukan berangkat dari akidah yang rusak." [Wizarah Al-Auqof Al-Mishriyyah, Fatawa Al-Azhar, juz X, halaman 311).

Selain itu, Syekh Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki, seorang ulama pakar hadis terkemuka asal Haramain juga menegaskan fatwa memperbolehkan perayaan tahun baru dalam kitab Mafahim Yajibu an Tushahihah sebagai berikut:

"Sudah menjadi tradisi bagi kita berkumpul untuk menghidupkan berbagai momentum bersejarah, seperti halnya maulid nabi, peringatan isra mi'raj, malam nisfu sya'ban, tahun baru hijriyah, nuzulul qur'an dan peringatan perang Badar. Menurut pandanganku, peringatan-peringatan seperti ini merupakan bagian daripada tradisi, yang tidak terdapat korelasinya dengan agama, sehingga tidak bisa dikategorikan sebagai sesuatu yang disyariatkan ataupun disunahkan.

Dengan demikian, hal ini juga tidak berseberangan dengan dasar-dasar agama, sebab yang justru mengkhawatirkan ialah timbulnya keyakinan terhadap disyariatkannya sesuatu yang tidak disyariatkan." (Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki, Mafahim Yajibu an Tushahihah, [Surabaya: As-Shafwah Al-Malikiyyah], halaman 337-338).

Berdasarkan penjelasan di atas, terdapat perbedaan pendapat ulama mengenai hukum merayakan tahun baru Masehi dalam Islam dan penentuan perbolehan atau larangan didasarkan pada interpretasi masing-masing ulama terhadap dalil-dalil agama.


Dibaca dengan hati !

Mesin Waktu - 8 Tahun 7 Bulan, tidak berakhir sia - sia karena ada Dilanomera

MasyaaAllah Tabarakallah.. Saya akan berbagi pengalaman hidup saya, agar semua bisa mengambil hikmah dari setiap perjalanan didalam pernikah...