Dengan WhatsApp, kita juga bisa berbagi file, foto, video guna memberikan kabar kepada orang-orang tercinta. Meski WhatsApp penting, tapi tahukah Anda soal Jan Koum. Siapa dia, dan apa hubungannya dengan aplikasi itu?
Jan Koum adalah tokoh penting di balik kelahiran WhatsApp. Dia lahir pada 24 Februari 1976 di Kiev Ukraina. Meski sukses membantu orang berkomunikasi seperti sekarang ini, jangan dibayangkan Koum merupakan orang kaya di masa kecilnya.
Mengutip berbagai sumber, Koum lahir dari sebuah keluarga Yahudi. Jika menilik dari latar belakang, ia sebenarnya lahir dari keluarga yang boleh dikatakan berkecukupan. Maklum, ayahnya adalah seorang manajer di perusahaan konstruksi. Namun, posisi Ukraina yang saat itu masih di bawah sistem komunis Uni Soviet mengubah kebahagiaan masa kecilnya.
Latar belakangnya yang berasal dari keturunan Yahudi membuat keluarganya mendapatkan perlakuan tak menyenangkan di negara itu.
"Saya tumbuh dalam masyarakat di mana segala sesuatu tidak menyenangkan. Segala sesuatu yang kita lakukan disadap, direkam dan diadu. Tidak ada seorang pun yang berhak menguping," katanya seperti dikutip dari leaders.com.
Karena masalah itu, pada usia 16 tahun, Koum, dan ibunya harus pindah ke Mountain View, California AS. Tujuannya satu; demi mendapatkan kehidupan lebih nyaman dan tenteram. Ia pergi tanpa ayahnya yang bersikeras tetap bertahan di Ukraina. Bantuan sosial pemerintah setempat, meringankan beban hidup Koum dan ibunya. Dengan bantuan itu, ia bisa ditinggal di apartemen bersubsidi dengan dua kamar tidur. Ia juga bisa mendapatkan kupon makanan untuk mengisi perutnya. Namun, Koum dan ibunya tak mau puas dengan bantuan itu.
Demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik, Koum muda mencari penghasilan dengan bekerja sebagai petugas kebersihan di sebuah toko kelontong. Sementara sang ibu bekerja sebagai seorang pengasuh anak. Pada saat berusia 18 tahun, Koum memiliki keinginan kuat untuk belajar pemrograman. Tapi, kondisinya yang saat itu kurang begitu beruntung sedikit mengganjal keinginan itu.
Namun, ia tidak berputus asa. Meski mengalami kendala keuangan, ia mencari cara agar keinginannya belajar pemrograman bisa terlaksana. Akhirnya, ia dapat cara termurah untuk belajar pemrograman; membaca buku dan belajar sendiri. Upaya itu pun bukan tanpa ganjalan. Pasalnya, Koum tak punya cukup uang untuk membeli buku. Untuk menyiasati masalah itu, Koum akhirnya berstrategi; meminjam di toko buku bekas dan mengembalikannya setelah selesai.
Untuk mempraktikkan apa yang ia sudah pelajari, Koum muda kemudian bergabung dengan komunitas peretas elit w00w00. Saat itu, ia mengaku sangat senang belajar tentang jaringan, keamanan, skalabilitas dan hal-hal aneh lain di dunia siber. Karena keahliannya di bidang siber itu lah, akhirnya Koum berhasil bekerja di Yahoo sebagai teknisi infrastruktur. Di Yahoo inilah, ia bertemu dengan Brian Acton programmer yang saat itu sedang mengalami masa sulit karena investasinya di dot-com hancur. Acton inilah yang kemudian menjadi temannya mendirikan WhatsApp. Karena merasa semakin lama bekerja di Yahoo semakin tidak menyenangkan, Koum dan Acton akhirnya pergi dari perusahaan tersebut pada 2007 walau tanpa tujuan jelas.
Mereka kemudian berkeliling Amerika Selatan selama setahun untuk menyegarkan pikiran. Tapi, tidak ada hasil dan ide yang mereka dapat. Yang ada, tabungan Koum senilai US$400 ribu yang terkumpul selama bekerja di Yahoo terkuras habis. Ia dan Acton sebenarnya sudah berusaha mencari pekerjaan dengan melamar ke Facebook. Tapi, upaya itu gagal. Hingga pada Januari 2009, Koum membeli iPhone. Di sini lah ia melihat peluang baru.
Koum melihat App Store di iPhone yang saat itu baru berusia tujuh bulan akan melahirkan industri aplikasi besar. Ia karena itu mulai berpikir untuk membuat aplikasi. Ia kemudian mendatangi rumah Alex Fishman, seorang kawannya dari Rusia untuk membahas ide besarnya. Saat itu, ia mengatakan akan sangat keren bila daftar nama dalam kontak handphone itu tak hanya berisi nama dan nomor telpon saja, tapi bisa dilengkapi status apakah seseorang sedang menerima telpon, baterai kosong, sedang berada di gym dan bahkan foto.
Dari situlah, selama berhari-hari Koum membangun aplikasi baru dan menyinkronkan dengan nomor telpon manapun di dunia. Untuk mendukung upayanya itu, ia juga meneliti entri Wikipedia yang mencantumkan awalan panggilan internasional. Ia juga menghabiskan waktunya selama berbulan-bulan untuk memperbarui aplikasinya agar sesuai dengan kebutuhan. Namun pada tahap ini, Koum mendapatkan masalah.
Aplikasi yang ia kembangkan sering macet. Tak hanya itu, saat awal diinstal , hanya segelintir nomor kontak saja yang bisa tersambung. Masalah tersebut sempat membuatnya putus asa dan berfikir untuk mundur. Namun, suntikan semangat dari Action membuatnya bangkit lagi. Namun kemudian bantuan datang dari Apple saat perusahaan itu meluncurkan pemberitahuan push pada Juni 2009. Layanan itu memungkinkan pengembang melakukan ping ke pengguna saat mereka tidak menggunakan aplikasi.
Berkat 'alat baru ini' Koum memperbarui WhatsApp sehingga setiap kali pengguna mengubah status "Tidak dapat bicara, Saya sedang di gym" maka ia akan melakukan ping ke semua orang di jaringan tersebut. Setelah itu, teman-temannya di Rusia mulai menggunakannya untuk saling mengirim pesan dengan status khusus yang lucu seperti, "Saya bangun terlambat," atau "Saya sedang dalam perjalanan."
Hingga akhirnya secara tak sengaja menyadari aplikasi yang dibuatnya benar-benar berhasil. Itu terjadi saat ia menyaksikan perubahan status pada Mac Mini di townhouse miliknya di Santa Clara. "Akhirnya semua bisa menjangkau seseorang di belahan dunia secara instan melalui perangkat yang selalu Anda bawa, sungguh luar biasa," katanya seperti dikutip dari Forbes.
Saat itu memang ada layanan BBM BlackBerry yang menjadi saingan WhatsApp. Tapi WhatsApp memiliki keunggulan karena loginnya dengan nomor telpon. Sementara BBM hanya bisa berfungsi di Blackberry. Setelah kesuksesan itu, Koum kemudian merilis WhatsApp 2.0. Setelah itu, pengguna aktif yang tadinya hanya beberapa membengkak menjadi lebih dari 250 ribu. Pelan tapi pasti WhatsApp tumbuh besar.
Pada 2010, atau setahun setelah berdiri, WhatsApp sudah secara bertahap menghasilkan pendapatan US$5.000 per bulan. Memang, pendapatan itu baru bisa digunakan untuk membiayai operasional.
Pada 2011, WhatsApp terus berkembang. WhatsApp berada di peringkat 20 aplikasi teratas dari semua aplikasi yang ada di App Store.
Perkembangan pesat WhatsApp itu akhirnya menarik perhatian Mark Zuckerberg. Pendiri dan CEO Facebook itu akhirnya menghubungi Koum untuk mengajaknya bekerja sama. Ajakan itu berbuah. Pada 2014, Koum dan Brian Acton akhirnya menjual WhatsApp ke Facebook dengan kesepakatan harga US$19 miliar. Harga tersebut, US$4 miliar dibayar tunai, 12 miliar lainnya dalam bentuk saham Facebook dan US$3 miliar dalam bentuk unit saham terbatas.
Usai kesepakatan tersebut, Koum memiliki 43 persen saham WhatsApp. Ia juga menerima 76 juta saham Facebook dan US$2 miliar tunai selama kesepakatan. Namun, pada 2016, Koum menjual US$4 miliar sahamnya di Facebook. Dengan langkah itu, ia tinggal memiliki 0,8 persen saham.
Berkat keberhasilan itu, Koum yang pada masa kecilnya bukan siapa-siapa berhasil menjadi salah satu orang terkaya di dunia. Berdasarkan data Forbes per Sabtu (9/9), total kekayaan Koum tembus US$15,1 miliar. Kalau dirupiahkan dengan kurs Rp15.381 per dolar AS, kekayaan itu tembus Rp232,26 triliun. Harta itu menjadikannya orang terkaya nomor 130 dunia.
No comments:
Post a Comment
Silahkan ketik sambil senyum ya